Waktu itu di bulan Desember, aku lupa tepatnya di tahun berapa aku berulang tahun. Ayahku, yang tiap tahun selalu nanyain aku mau kado apa, kelihatannya sudah mulai enek dengan permintaan kado aneh-aneh dariku. Kadang minta gitar, kadang piano, sampai pernah juga minta drum! Dalam hati mungkin dia berpikir, “Ni anak ga sadar apa kalau budget gua terbatas?”
“Gimana kalo jam tangan aja?”
“Yeeee, kalo gitu mah, ngapain pake nanya!”
Akhirnya kita cus ke mal terdekat, yaitu Mal Taman Anggrek (TA) Jakarta yang waktu itu air mancurnya masih hits, belum kalah pamor sama LED segede Gaban-nya. Sesampainya di sana, ayahku mulai mencari lantai yang banyak toko jam tangannya. “Dimana yah itu? Aduh, pinggang Papi udah mulai sakit lagi.” Katanya, sambil tetap berusaha jalan. Tapi jujur aja, meski nggak langsung ketemu tokonya, aku seneng-seneng aja sih jalan-jalan di TA. Soalnya banyak cerminnya!
Sesampainya di toko jam yang dimaksud, aku melihat panel di atas pintu toko yang bertuliskan Bonia. Dalam hati, aku bingung, Bonia tuh merk apaan ya? Gak pernah dengar sebelumnya. Maklum, waktu itu merek yang aku tahu masih sebatas merek surfing kayak Billabong, Roxy, dan sebangsanya. Lalu ayahku bilang, “Mending merek ini aja, soalnya kalau yang terkenal-terkenal tuh banyak KW-annya, nanti kamu dikira pake barang KW lho.” Mungkin, si ayah ini maksud dan tujuannya baik, tidak ingin putrinya dikira pakai barang KW karena nggak cocok sama penampilannya. Jadi, aku harus senang atau sedih ya?
Aku yang nggak tau harus pilih yang mana waktu disuruh milih, spontan bilang, “Terserah aja deh” Dan menyerahkan masa depanku ke enci-enci yang jaga toko. Setelah si enci menerawang masa depanku (kayaknya sih begitu), dia membantu memilih jam tangan yang “Mana aja deh asal lu bayar” Yang akhirnya jadi jam tangan pertamaku. Ayahku kemudian melantunkan kalimat andalannya setiap berbelanja, “Ga bisa kurenk nih, enci?” Si enci sontak menjawab dengan seperti luar biasanya juga, “Yah, modalnya aja ga dapet, engko.” Yang mungkin dalam hati sambil ngedumel “Lu kira ini Glodok?”
Setelah strap-nya dipotong sana-sini, akhirnya muat juga jam tangannya di pergelangan tanganku. Bonia B907S Sapphire berwarna silver dengan hiasan permata di sekelilingnya siap menemani perjalanan hidupku selama belasan tahun sampai tiba saatnya ayah pergi untuk selama-lamanya.
Setelah ayah tiada, perasaanku ketika melihat jam tangan itu pun berubah. Dulu setiap kali memakainya, aku yang sudah tidak serumah dengan ayah jadi merasa lebih dekat dengannya. Tapi kini, setiap kali melihat jam tangan itu rasanya seperti ada yang menekan di dada. Melihat foto almarhum saja sudah bikin hati nggak karuan, apalagi harus memakai memento-nya kemana-mana. Akhirnya aku memutuskan untuk menyimpan jam tangan itu di tempat yang aman, bersamaan dengan kenangan-kenangan berharga lainnya tentang ayahku.
Meskipun begitu, kebiasaan memakai jam tangan tetap aku lanjutkan, sebuah kebiasaan yang sudah ayah wariskan kepadaku.
Makasih, Yah, udah ngenalin aku ke dunia jam tangan.
Dari: Putrimu yang dulu nggak terbiasa pakai jam tangan.
Ditulis oleh: Cipipi – Jakarta